Sabtu, 15 Desember 2012

MAYORITAS DAN MINORITAS


Dalam kehidupan bermasyarakat, hampir dimana ada mayoritas, baik di bidang agama, ekonomi, moral, politik, dsb, yang minoritas lebih mudah ditindas dan lebih sering mengalami penderitaan karena tekanan oleh pihak mayoritas. Hubungan antara kaum mayoritas-minoritas sering menimbulkan konflik social yang ditandai oleh sikap subyektif berupa prasangka dan tingkah laku yang tidak bersahabat (Schwingenschlögl, 2007).  Secara umum, kelompok yang dominan cenderung mempertahankan posisinya yang ada sekarang dan menahan proses perubahan social yang mungkin akan mengacaukan status tersebut. Ketakutan akan kehilangan kekuasaan mendorong mereka untuk melakukan penindasan dan menyia-nyiakan poteni produktif dari kaum minoritas (Griffiths, 2006).

Adapun istilah “dominasi mayoritas”, dimana pihak mayoritas mendominasi sehingga pihak minoritas terkalahkan kepentingannya. Contohnya yaitu pada suatu negara dimana penduduk aslinya yang mayoritas mungkin saja mengabaikan kepentingan penduduk pendatang yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Sedangkan di sisi sebaliknya, istilah yang benar adalah “tirani minoritas”, di mana pihak yang sedikit jumlahnya, tapi karena terlalu kuat menjadi sewenang-wenang dan menekan pihak yang jumlahnya lebih banyak. Contohnya adalah kediktatoran. Seorang diktator, meskipun suaranya tidak mencerminkan mayoritas rakyat tapi karena kekuatannya, dia menekan mayoritas rakyat (Huang, 2009).
Salah satu factor dari mayoritas adalah karena jumlah anggota grup yang banyak. Seiring dengan bertambah banyaknya anggota, maka social influence group tersebut semakin besar. Kebanyakan kaum minoritas sering mengalami kesulitan atau hambatan saat berhadapan dengan kaum mayoritas. Faktor yang mempengaruhi adanya hambatan tersebut menurut Purwasito (2003, dalam Reslawati) antara lain prasangka histories, diskriminasi, dan perasaan superioritas in-group feeling yang berlebihan. Sebagai contoh, penelitian Pasurdi (dalam Reslawati) menunjukkan bahwa orang-orang Jawa yang menetap di Bandung cenderung untuk berlaku seperti layaknya orang Sunda dan menaati semua peraturan di tempat-tempat umum, hal ini terjadi terutama pada masyarakat Jawa menegah kebawah.

Namun, tidak selalu kaum mayoritas yang memegang pengaruh kuat, kaum minoritas pun dapat berpengaruh meskipun dengan jumlah anggota yang lebih sedikit dibandingkan dengan kaum mayoritas. Clark (1990, dalam Forysth) mengatakan bahwa kaum minoritas yang mengajukan pendapat yang bertentangan dengan mayoritas cenderung lebih berpengaruh daripada minoritas yang gagal untuk membantah mayoritas.

0 komentar:

Posting Komentar